Konsumsi Kopi Masyarakat Jatim Masih Rendah



SURABAYA, SMN - Produksi kopi di JawaTimur setiap tahunnya cukup tinggi, yakni 56 ribu ton pada 2012 silam. Tahun ini, ditargetkan produksi meningkat menjadi 58 ribu ton. Namun, besarnya produksi kopi Jatim rupanya belum sebanding dengan tingkat konsumsi masyarakat yang masih rendah, yakni 3 ons/kapita/tahun. Jika dikalkulasikan dengan asumsi 3 ons/kapita/tahun, maka total kebutuhan tak lebih dari 10 ribu ton per tahun.

“Karena konsumsi kopi masyarakat Jatim masih rendah, maka banyak kopi lokal kita yang di ekspor keluar,” kata Kepala Dinas Perkebunan Jatim, Moch Samsul Arifien saat dikonfirmasi, Rabu (17/7).
Menurut dia, kopi dari Jatim memiliki kualitas yang bagus dan cukup terkenal. Hal ini yang menyebabkan banyak kopi dari luar Jatim, namun pengiriman ekspor kopi dilakukan bersama dengan kopi asal Jatim. Namun, lanjut dia, yang sangat disayangkan ekpor masih banyak dilakukan dalam bentuk biji.
Dari data Dinas Perkebunan Jatim, total ekspor kopi Jawa Timur pada 2012 lalu mencapai 80 ribu ton. Dari jumlah itu, 95 persen kopi yang diekspor masih dalam bentuk biji kopi dan lima persen sisanya dalam bentuk kopi olahan. “Ekspor kopi dalam bentuk biji atau belum jadi masih sangat disayangkan, karena harganya tidak terlalu mahal. Jika dapat di ekspor dalam bentuk kopi olahan, maka dapat mendongkrak harga jualnya,” katanya.
Untuk harga kopi, kata Samsul, kini relatif normal atau stabil. Untuk jenis robusta kini berada di kisaran harga Rp 16-18 ribu/kg dan jenis arabika Rp 40 ribu/kg. Namun, lanjut dia, jika kopi dijual dalam bentuk olahan, harganya bisa lebih terdongkrak. “Kalau robusta olahan bisa mencapai Rp 30-40 ribu/kg,” ujarnya.
Guna mempertahankan produksi yang dicapai tahun 2012, kini pihaknya terus mengembangkan areal kopi terutama kopi arabika. Dikatakan Samsul, kebutuhan kopi arabika masih cukup besar. “Untuk kebutuhan kopi robusta kita sudah bisa memenuhinya. Maka itu kita pengembangannya ke arabika,” katanya.
Tiap tahun, Dinas Perkebunan Jawa Timur mengembangkan areal kopi seluas 2.000 hektar. Pengembangan dilakukan di daerah dengan ketinggian 1.000 meter di atas permukaan laut. Hal tersebut dikarenakan pada dataran rendah kopi arabika akan sulit berkembang.
Samsul menjelaskan Jawa Timur punya potensi untuk mengembangkan kopi arabika. Daerah-daerah di Jawa Timur yang potensial untuk ditanam kopi arabika di antaranya Pegunungan Ijen, Kayumas di Kecamatan Arjasa (sekitar 47 km dari kota Situbondo), Lereng Gunung Semeru, dan Lereng Gunung Arjuno.
Selain pengembangan, Dinas Perkebunan Jawa Timur juga terus meningkatkan kualitas produksi kopi. Peningkatan itu dengan memberikan bantuan unit pengolahan hasil (UPH) kopi basah. Tahun 2012, ada 15 unit UPH kopi yang diberikan Disbun Jawa Timur kepada kelompok tani. 4 daerah antara lain masing-masing 5 unit di Jember dan Bondowoso, 2 unit di Malang, dan Situbondo 3 unit.
Samsul mengatakan, pemberian UPH kopi basah dimaksudkan supaya kopi yang dihasilkan petani mempunyai kualitas ekspor. “Jadi kopi yang di ekspor harus diolah secara basah. Artinya biji kopi dipetik, lalu dikupas, dicuci, dan direndam. Setelah bersih kualitasnya lain. Kalau dengan cara konvensional biasanya biji kopi dipetik, digiling, dan dijemur,” jelasnya.
Mengingat hasil kopi robusta yang diolah secara basah lebih baik dibandingkan dengan cara tradisional, maka harga pun relatif tinggi. Samsul menerangkan bila harga kopi yang diolah secara tradisional mencapai Rp18 ribu per kg, lain halnya dengan pengolahan menggunakan UPH kopi basah yang bisa mencapai Rp 23 ribu. “Itu di tingkat petani. Kalau di pasar PT Indokom menjualnya sebesar Rp 27 ribu, karena mereka ada tambahan ongkos transportasi, pergudangan, dan lain-lain, Sedangkan untuk kopi arabika hanya bisa mencapai Rp 45 ribu” tukasnya. (sam)
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS
Read Comments

0 Response to "Konsumsi Kopi Masyarakat Jatim Masih Rendah"


KLINIK KANG JANA

KLINIK KANG JANA