Bias Pelaksanaan Otonomi Daerah



Silang Sengkerut Kasus Jembatan Brawijaya
SMN - Masyarakat Kediri dan sekitarnya saat ini banyak disajikan informasi silang sengkerut kasus Jembatan Brawijaya. Mega proyek Pemkot Kediri yang menelan biaya hampir Rp 66 miliar itu kini tengah ditangani Polresta Kediri. Tentu saja, banyak progres yang dicapai aparat penegak hukum. Diantaranya berhasil menetapkan 2 tersangka, memeriksa belasan saksi dari pejabat, politisi dan pihak III yang tidak ada kaitannya dengan proyek.

Namun, kasus ini tak pelak melahirkan banyak pendapat yang menimbulkan spekulasi. Apalagi kalau tidak berkaitan dengan pelaksanaan pilihan walikota yang akan digelar tahun ini. Multi tafsir pun terjadi pada ranah penyelenggaraan pemerintaan daerah (otonomi). Diantaranya yang mengarah pada kritik dalam pelaksaan otoda yang notabene memindahkan `raja-raja kecil` dari pusat ke daerah.
Sebagaimana dipahami, pelaksanaan pemerintaan dari tahun 1999 hingga saat ini sistem otonomi daerah belum bisa sepenuhnya dapat menciptakan Good Governence, masih banyak hal-hal yang belum dapat terpenuhi.
Pelaksanaan asas Good Governance tidak berhasil diterapkan pada daerah yang kini berstatus otonomi, yang diartikan mandiri, karena ketidakpahaman bahwa governance merupakan prinsip pengelolaan atau cara untuk memanage layaknya perusahaan (good corporate governance) yang kemudian diterapkan pada daerah.Konsep pemikiran dari manajemen daerah adalah mengoptimalkan sumber daya yang tersedia, bukan yang mungkin tersedia.Sehingga dalam mengelola daerah tidak melakukan rancangan “angan-angan”, tetapi bagaimana mengelola potensi-potensi daerah yang selama ini terabaikan untuk kemudian menjadi andalan daerah.
Kebijakan-kebijakan publik yang peka dan tanggap akan kebutuhan sosial rakyat, terutama yang menyangkut hak-hak dasar rakyat adalah kesalahan dasar bagi terciptanya sumber daya manusia. Ironis jika kasus jembatan Brawijaya ini juga karena tidak sinkronya eksekutif dan legeslatig. Apalagi jika di eksekutif terjadi friksi, jika benar ada ketidakharmonisan antara Walikota Kediri dan Wakil Walikota Kediri, sehingga terkesan ada pembiaran kesalahan prosedur dalam pengadaan barang dan jasa (lelang Jembatan Brawijaya dan 2 kasus besar lainnya)
Seharusnya, kepala daerah (Walikota dan Wakil Walikota) melakukan fungsi pengawasan dan monitoring terhadap jalanannya pemerintahan termasuk proses pembangunan proyek yang menelan dana besar tersebut. Sehingga jika ada masalah yang menyangkut pidana, Walikota dan Wawali harus ikut bertanggung jawab karena terkait dengan tupoksi yang melekat padanya.
Disfungsi dan mandulnya pemerintah daerah dan DPRD penjadi salah satu penyebab gagalnya pelaksanaan otonomi daerah dengan mengorbankan hak-hak dasar rakyat. Sehingga kasus Jembatan Brawijaya ini tidak terjadi dan menyeret kewibawaan pemerintah sebagai pelayanan masyarakat. (red/adv)
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS
Read Comments

0 Response to "Bias Pelaksanaan Otonomi Daerah"


KLINIK KANG JANA

KLINIK KANG JANA