Pura Ratu Agung Pecalang Agung, Berdiri Atas Petunjuk Nya
Posted in |
Pura Ratu Gede Pecalang Agung |
TABANAN, SMN - Pura
Ratu Gede Pecalang Agung Penataran Pucak Sengayang, begitu pura ini disebut.
Terletak di Desa Jatiluwih, Dusun Gunung Sari Kecamatan Penebel, Tabanan.
Merupakan salah satu pura tergolong Dhang Khayangan Jagat, atau setara pura
luhur khayangan jagat lainnya sebagai tempat persembahyangan seluruh umat Hindu.
Berstana di
pura itu, Ida Ratu Pecalang Agung, merupakan keturunan dari Ratu Ayu Mas
Meketel Manik Selaka, putri dari Pucak Sengayang di Bukit Sengayang yang
berjarak sekitar 7 jam perjalanan jika ditempuh dengan jalan kaki. Diapit oleh
dua gunung dan pura luhur daerah setempat, yakni Pura Pucak Kedaton pada Gunung
Batukaru dan Pura Pucak Adeng pada gunung/bukit Adeng.
Menurut Jro
Mangku Agus, pengempon pura bersama Jro Mangku Nyoman Murcaya (Mangku Gede) dan
Jro Mangku Sukarnata (penasehat), keberadaan pura tersebut merupakan bagian
sejarah seorang Rsi dari wilayah timur bernama Ida Rsi Mustika Wesnawa dan
berkaitan dengan keberadaan Gunung Sari. Ia datang karena sinar yang dilihatnya
pada tempat ini, dulu dikenal dengan Giri Kusuma atau sekarang bernama Desa
Gunung Sari.
Ditempat
ditemukannya sinar itu, Rsi Mustika Wesnawa kemudian melakukan semedi atau
bertapa. Lama kemudian ia kembali diperlihatkan sebuah sinar yang memancar dari
Gunung Batu Karu yang saat itu bernama alas abasan. Dari penemuan sinar itu, ia
lantas memberitahukan pada warga hingga melakukan pencarian keberadaan sinar
itu yang ternyata berasal dari tegak pura dan sekarang terbangun Pura Gunung
Batu Karu.
Dari tempat
ditemukannya sinar kedua itu, Rsi Mustika Wesnawa kemudian menemukan petunjuk
dari penemuan tulang besar berbentuk burung jatayu (dalam sejarah Hindu
berwujud seperti burung setangah manusia merupakan kendaraannya Dewa Wisnu
red). Dari penemuan itu sang rsi kemudian menamakan tempat itu sebagai Munduk
Jatayu, lama kemudian berganti nama menjadi Munduk Jatiayu, berganti nama lagi
menjadi Jatiluwih dan digunakan masyarakat hingga saat sekarang.
Menurut Jro
Mangku Agus, Ida Rsi Mustika Wesnawa tidak menyadari bahwa keberhasilan dan
selamatnya perjalanan itu merupakan tuntunan dari Ida Ratu Gede Pecalang Agung.
Ia baru tersadar ketika dirinya menemukan beberapa peninggalan sekaligus
petunjuk dari keberadaannya.
“Satu contoh,
di Jatiluwih ada Puseh Penghulu yang pada setiap odalan harus mempersembahkan
daging kijang. Saat pencarian kijang sendiri ada sejenis ritual yang pengucapan
doanya harus meminta izin kepada Ida Ratu Gede Pecalang Agung,” ujar Jro Mangku
Agus.
Dan itu,
lanjut Mangku Agus, selalu disebut hingga menjadi kebiasaan pada setiap ritual
namun warga atau umat belum sadar dimana tempat berstananya bersangkutan.
Ketika ditelusuri, kata Jro Mangku, dimana beliau harus diucapkan itulah atau
ditengah alas (Penataran Agung masih berupa alas), saat ritual pencarian kijang
hingga menuntaskan ritual, akhirnya disadari bahwa itu merupakan tuntunan
mengetahui keberadaan tempat sekarang didirikan Pura Penataran Pucak Sengayang
atau Pura Ratu Gede Pecalang Agung.
Sementara
mulai berdirinya Pura Ratu Gede Pecalang Agung sendiri, masih menurut Jro
Mangku Agus, berawal dari kehidupan Pan Ribet (saat ini sudah Almarhum)
merupakan kakek Jro Mangku Murcaya, sekarang diangkat menjadi Mangku Gede.
Pan Ribet,
saat itu mengalami musibah sakit pada kakinya dan konon terbilang aneh. Tak
bisa sembuh oleh berbagai obat, hingga akhirnya mendapat petunjuk orang pintar,
itu akibat bebaturan atau sebuat batu suci di kebunnya agar di perhatikan dan
dirawat secara khusus.
Atas petunjuk
itu kemudian ia merawat secara khusus batu itu dan menyucikannya melalui
upacara. Dan ternyata benar, secara mengejutkan penyakit Pan Ribet pada kakinya
sembuh tanpa tersisa.
“Dari kejadian
itu, anak Pan Ribet bernama Pan Padmi (sekarang almarhum), merupakan orang tua
Mangku Gede (dimaksud Jro Mang Murcaya red) melakukan pembangunan pelinggih
secara sederhana. Namun malah batu-batu itu tidak dirawat dengan baik, hingga
kemudian ia mendapat musibah, jatuh dari pohon jaka saat ia mencari enau untuk
dijadikan tuak, kemudian sakit dan meninggal,” terang Jro Mangku Agung.
Dari kejadian
petunjuk kembali hadri, agar batu-batu tersebut ditempatkan dan dirawat dengan
baik. Itu bukan saja diupacarai, melainkan agar dibuatkan pelinggih hingga
membentuk tempat persembahayangan atau pura. Alhasil, sebagai generasi penerus,
Jro Mangku Nyoman Murcaya dengan segala keterbatasannya berupaya membangun pura
itu hingga terbentuk seperti sekarang.
“Itu pun atas
berkah dan petunjuknya. Jika melihat dari segi kemampuan, saya merasa mustahil
bisa mendirikan bangunan seperti sekarang,” ujar Jro Mangku Murcaya, menimpal
penuturan Mangku Agus. Sembari menyebutkan, bahwa dalam pembangunan dirinya
banyak dibantu umat, baik secara perorangan, dari instansi pemerintah dan
swasta, termasuk dari Bupati Tabanan.
Sebagai
pelinggih utama pura, Mangku Agus yang juga seorang dosen Fakultas Pariwisata
UNUD ini kembali menuturkan, adalah pelinggih Ida Ratu Pecalang Agung. Ia
merupakan penguasa dan keamanan hutan Gunung Sari yang dikawal Harimau dan
Naga. Pada Penataran Agung, Pesengan Beji Ida Begawan Manik Selaka (Pancoran
Batu), pemberi unsure kemakmuran atau kekayaan.
Proses
pembangunan pura dimulai pada 2010. Saat ini terbangun diatas lahan seluas
sekitar 15 are, pelinggih Ratu Gede Pecalang Agung sebagai pelinggih utama
pura, Penataran Agung, Pesengan Beji Ida Begawan Manik Selaka (Pancoran Batu).
Upacara piodalan pura baru tiga kali digelar, jatuh pada Bude Wage Menail.
Kendati telah
terbangun dan dikunjungi banyak umat dari berbagai penjuru Bali, pengempon pura
belum bisa membuatkan penyengker atau pagar keliling. Pembangunan yang
dibutuhkan lainnya, diantaranya membangun Padmasana, Persimpangan Palem Ped,
Persimpangan Naga Loka, bangunan Gapura , serta bale kul-kul.
Para pemangku pura; dari kiri:
Mangku Nyoman Sukarnata,
Mangku Agus, Mangku Nyoman
Murcaya.
|
Harapan para
pengempon atau pengurus pura tersebut, pada sekalian umat baik perusahaan,
perorangan, instansi pemerintah dan lainnya supaya berkenenan mendukung dalam
proses perwujudannya. Sehingga proses peribadatan atau persembahayangan dapat
terlaksana secara nyaman dan aman.
Harapan itu
salah satunya seperti diungkapkan Jero
mangku Nyoman Sukarnata (sekarang menjadi penasehat pura). Ia juga berharap
agar pura tersebut menjadi salah satu tujuan umat, melakukan persembahyangan
laiknya terhadap pura jagat lain di Bali.
Pengalamannya
hingga sekarang menjadi salah satu pemangku pura, diakuinya telah menandaskan
bahwa tempat tersebut merupakan bagian sejarah leluhur. Berawal dari petunjuk
dalam mimpi serta pewisik yang mengharuskan dirinya menjadi seperti saat ini.
Bahkan dari perjalanannya menuju pucak sengayang, dimana terdapat berbagai hal
sacral dan gaib, serta tidak bisa dijelaskan secara akal.
Itu salah
satunya, ketika ia menemukan sebuah pohon dengan empat cabang pohon berbeda
jenis. Baginya itu satu pertanda, bahwa tempat itu betul-betul tempat suci,
yang menggambarkan bahwa lokasi itu merupakan tempat berstananya para Sangyang.
“Aura suci
tempat ini memberikan kekuatan dan ketenangan batin saya. Terutama saat berada
di Puncak Sengayang yang merupakan puncak vertical dari Pura Ratu Gede Pecalang
Agung,” ujar Mangku Sukarnata, sembari menyebutkan bahwa pemuput pura dilakukan
oleh Cokorda Agung Tabanan dari Puri Tabanan. (Wir)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 Response to "Pura Ratu Agung Pecalang Agung, Berdiri Atas Petunjuk Nya "
Post a Comment