SLK Bali “Arogan” Diprotes Malah Pecat Siswa, Bahkan Surat dari Komnas Anak Pun Ditentangnya
Posted in |
Denpasar, Bali, SMN -
Aksi premanisme belum hilang di negeri ini. Sebagai buktinya, kejadian yang
menimpa dan dialami salah satu Ortu alias orang tua murid sekolah SLK (Sekolah
Lentera Kasih) Bali kendati kekerasan bukan terhadap fisik melainkan mental
pelajar. Hanya gara-gara protes program study yang dianggap janggal, ia malah
mendapat perlakuan sewenang-wenang. Kedua anaknya sebagai murid sekolah
setempat, dipecat atau dikeluarkan dari sekolah.
Padahal, aksi
protes yang dilakukan oleh Feraud (41), ayah atau wali siswa dari Chika Febiola
(14), siswa kelas 1 SMP dan Kaila Parisa (6) kelas 1 SD SLK Bali itu sebenarnya
meluruskan kejanggalan terkait program pendidikan yang diajarkan sekolah itu. Mempertanyakan
empat mata pelajaran sekolah yang disebut-sebut beberapa siswa termasuk
anaknya, tidak pernah diajarkan pihak sekolah namun nilai tercantum dalam
raport semua siswa yakni Bahasa Indonesia, PPKN, Pelajaran semua Agama yang
diakui Negara, serta Pelajaran Bahasa Daerah, itu bisa terjadi.
Sayang, protes
terkait kurikulum wajib pendidikan itu tidak sedikit pun ditanggapi pihak
sekolah. Pria asal Warga Negara Asing yang sudah menjadi WNI itupun hanya
mendapat jawaban yang dianggap tidak semestinya sehingga memantik rasa kepedulian
Feraud untuk mendesak supaya empat mata pelajaran inti ada dan diajarkan pihak
sekolah tersebut.
Atas tindakan
sekolah itu pulalah, ia bersama 50-an orang tua siswa lain sekolah setempat,
mendatangi instansi terkait. Diantaranya Disdikpora Provinsi Bali dan Kabupaten
Badung, DPRD Provinsi Bali dan Kabupaten Badung, Kanwil Kementrian Agama
Provinsi Bali, serta badan-badan public terkait lainnya.
“Intinya ia
(Feraud red) berharap agar pihak-pihak terkait itu, terutama pihak Diskdipora turun
tangan. Melakukan evaluasi terkait yang
dilaporkannya bersama 50 orang tua siswa lain sekolah itu. Jika laporan
terbukti, diharap agar sekolah bersangkutan diperintahkan untuk melakukan perubahan,
memperbaiki kekurangan terutama kurikulum yang sesuai dengan standar nasional,”
ujar Wihartono, SH, pengacara yang akhirnya diminta bantuan oleh Feraud,
dikantornya kepada wartawan.
Dituturkan
Bang Wi, begitu ia dipanggil, Feraud lagi-lagi tidak mendapatkan jawaban yang
memuaskan dari beberapa SKPD dan para Wakil Rakyat yang ia datanginya itu.
Sehingga berharap melalui dirinya sebagai kuasa hokum atau pengacara, memuat
semua kejanggalan serta protes Feraud tersebut itu dalam bentuk surat berjudul
“Perihal Pengaduan dan Perlindungan Hukum”. Itu termasuk atas tindakan yang
dilakukan SLK Bali terkait tindakan pemecatan terhadap kedua anak Feraud, yakni
Chika Febiola (14), siswa kelas 1 SMP dan Kaila Parisa (6) kelas 1 SD sekolah
yang bercokol di bilangan Jalan Gunung Salak, Kerobokan, Badung tersebut.
“Atas tidak
adanya tindakan itu juga, akhirnya Feraud merasa bahwa kejanggalan yang
ditemukannya pada SLK Bali harus diluruskan. Tidak saja terkait kurikulum yang
jelas belum nasional, tidak adanya komite sekolah serta kejanggalan terkait
Akreditasi sekolah pun harus diluruskan,” jelas Wihartono, yang kemudian
didampingi Edmus Wahyu Indrawan, SH dan Anak Agung Made Eka Dharmika, SH,
selaku partners advokat kantor hukumnya.
Akhir Mei
lalu, lanjut Bang Wi, kami mendapatkan surat jawaban atas pengaduan yang kami
lakukan ke Komisi Nasional Perlindungan Anak. Mereka (Komnas Anak red), menerbitkan
surat yang secara langsung ditujukan kepada Thelma Poetiray, perempuan sebagai
Direktur PT. Bali Permata Hati. Surat yang ditangdatangani oleh Ketua Umum,
Arist Merdeka Sirait dan Samsul Ridwan, Sekretaris Jenderal, tertanggal 24 Mei
2012, bernomor 097/Komnaspa/V/2012, Komnas Anak itu mengharapkan agar SLK Bali
mengurungkan pemecatan. Atau melarang agar sekolah yang mengaku telah ber-Akreditasi
A padahal baru berdiri sekitar 2004 silam itu, tidak melakukan hal-hal yang
terbilang merampas hak anak atas pendidikan yang seharusnya terus diberikan
pihak Sekolah Lentera Kasih Bali dan Lolypop Preschool Bali itu demi masa depan
para generasi intelektual Indonesia itu.
Lagi-lagi,
pihak SLK Bali menentang. Permohonan sebuah lembaga independen yang dibentuk
pemerintah dalam melindungi sekaligus memberikan pemenuhan hak anak Indonesia,
dalam hal ini khusus bidang pendidikan, itu tidak sedikit pun diperdulikan. SLK
Bali tetap dengan pendirian awalnya, memecat kedua anak Feraud, orang tua siswa
yang protes kemudian dianggap pihak sekolah telah berulah semena-mena. Bahkan melalui
surat dengan nomor 078/SLK/SK-VISY1112, tertanggal 7 Juni 2012, SLK Bali malah memberitahukan
kepada Feraud beserta Isteri, Budi Hartati, untuk segera menarik dan
memindahkan kedua anaknya itu dari sekolah.
Itu
menggambarkan, bahwa SLK Bali arogan. Bertindak seolah-olah pihaknya paling
benar. Hokum demokrasi di negeri ini tidak berlaku baginya. Bahkan berbeda
pendapat, kendati untuk kebaikan dan kemajuan sekolah, malah dianggapnya
sebagai bentuk criminal dengan melaporkan Feraud ke pihak berwajib. “Iya. SLK
Bali malah melaporkan klien kami ke Polsek Denpasar Barat. Menyebut klien kami
sebagai pihak yang telah mencemarkan nama baik sekolah,” ujar Bang Wi, begitu.
Padahal, jika
melihat copian file atau data yang ada di kantor Advokat/Law Office Wihartono
& Partners, yang sekaligus merupakan data laporan, bisa jadi benar atas
dugaan klien advokat ini. Salah satunya, dapat dilihat dari surat dengan
perihal; Pengaduan dan Perlindungan Hukum. Itu menyebutkan, kejanggalan mulai
empat mata pelajaran yang hilang karena tidak diajarkan sekolah, Akreditasi A
Tahun 2007 yang diakui didapati sekolah pada saat itu sekolah belum mempunyai
tamatan siswa.
Selain itu,
kejanggalan atas pengakuannya terkait status SBI (Sekolah Berstandar
Internasional) yang disandang sekolah bersangkutan. Itu sangat janggal
mengingat dalam status tersebut, banyak hal yang sepertinya tidak memungkinkan bisa
dilengkapi SLK Bali. Diantaranya, jenjang pendidikan minimal strata dua pada
semua tenaga pengajar, kemudian luas lahan sekolah berikut perangkat lain yang
sesuai dengan mutu serta standar yang harus internasiuonal. “Dari segi badan
hukumnya saja sudah perseroan terbatas. Itu bukan lembaga pendidikan yang low
profit,” pungkas Wihartono. (wir)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
May 13, 2017 at 10:27 PM
Ini Katsuya jadi gimana??
May 13, 2017 at 10:28 PM
Kasusnya...
May 13, 2017 at 10:28 PM
Kasusnya...
May 13, 2017 at 10:28 PM
Ini Katsuya jadi gimana??
June 10, 2019 at 8:24 AM
Trus kelanjutan kasus ini bagaimana bang Wi??