Peternak Ayam Petelur Tercekik!

Oleh Drh. Sapto Sulistiyo
            Dalam enam bulan terakhir ini, para peternak ayam petelur di wilayah Blitar mulai resah. Betapa tidak? Harga komoditi andalan kota kelahiran Bung Karno ini lambat laun mulai melemah. Hingga saat ini, harga yang ditawarkan para pengepul telur mencapai kisaran Rp 10,000/kg. Suatu kondisi yang membuat sebagian besar peternak kecil tercekik, khususnya para peternak plasma yang ‘menyusu’ pada pultry shop (PS), koperasi ataupun pada perusahaan besar (inti). Mereka berlomba-lomba mencari ‘induk’ lain untuk mendapatkan sumber kredit untuk pakan ternaknya. Di sisi lain bahkan ada yang menumpuk tanggungan hutang pakan hingga puluhan juta rupiah, demi berjalannya usaha mereka. Lalu mengapa masalah ini terlihat begitu genting? Bukankah para pelaku perunggasan layer (ayam petelur=red)  telah terbiasa dengan penurunan harga telur yang demikian fluktuatif? Bahkan pernah mencapai pada titik Rp. 8,000 pada pertengahan tahun lalu?
            Permasalahannya tidak sesederhana itu, justru sebaliknya sangat komplikatif. Dari sekian banyak akumulasi permasalahan tersebut, sebaiknya kita runut fenomena ini dengan cermat. Menginjak awal tahun 2011, harga jagung di Blitar dengan kualitas layak (kadar air ± 17%) mulai melonjak hingga Rp. 3,600/kg atau naik sekitar 50% dari sebelumnya. Curah hujan yang ekstrim diklaim sebagai kambing hitam terhadap kegagalan panen jagung lokal beberapa bulan terakhir. Dampaknya adalah ketergantungan peternak terhadap jagung impor yang ketersediaannya pun masih minim. Padahal, Jawa Timur khususnya Blitar terkenal sebagai salah satu sentra jagung.  Kondisi ini juga diperparah dengan menurunnya  harga ayam afkir yang hingga saat ini menyentuh kisaran Rp. 8,000/kg atau turun 40% dari sebelumnya. Dapat dibayangkan bila dibandingkan dengan situasi pada awal semester tahun lalu, dimana harga jagung masih berkutat di rataan Rp. 2,400/kg, sedangkan ayam afkir masih mampu untuk mengisi kocek peternak dengan kisaran Rp. 14,000/kg. Dengan kondisi terus demikian, lalu dari output mana mereka menaruh harapan untuk meraup untung? Hasil produksi sekunder seperti pupuk kandang ataupun produksi pullet (ayam dara) tidak begitu banyak membantu, karena tetap saja posisi telur merupakan prioritas utama peternak dalam mengharapkan laba.
Inilah permasalahan pertama. Mengapa kenaikan harga jagung seolah-olah begitu dilematis? Ini karena satu alasan mutlak bahwa peran jagung amatlah vital, tidak dapat digeser dengan apapun. Sampai saat ini, nilai kalori jagung masih menjadi primadona dalam pemenuhan nutrisi untuk bahan baku pakan unggas. Kendalanya adalah bahwa sebagian besar peternak di Blitar banyak yang menerapkan metode self-mixing (mencampur bahan pakan sendiri) dengan kombinasi jagung, bekatul dan tepung ikan atau konsentrat (pakan pabrik). Perlu diperhatikan bahwa porsi jagung mendominasi dalam campuran pakan tersebut hingga mencapai 50 – 60%. Jangankan untuk menunggu harga produksi (telur) yang membaik, untuk saat ini saja mereka harus memutar otak untuk menanggung biaya kebutuhan jagung yang memiliki kontribusi hampir  80% dari total biaya produksi mereka. Itulah permasalahan mendasar yang mendera para peternak layer di Blitar hingga saat ini.
            Sekarang, mari kita kembali ke masalah berikut, yaitu pada penurunan harga telur. Mengapa fenomena ini bisa terjadi? Dari pernyataan beberapa pemasok di kecamatan Kanigoro, Srengat dan Kademangan , mereka mengeluhkan permintaan ataupun daya beli masyarakat yang mulai menurun dari wilayah Jakarta dan Jawa Barat. Penurunan permintaan pasar yang berakibat penurunan harga ini seringkali tidak disikapi dengan bijaksana oleh sebagian besar peternak di Blitar. Kekhawatiran yang terlalu berlebihan akan tidak lakunya telur, memicu rendahnya penawaran harga dari masing-masing peternak. Akibatnya, harga rendah yang bersaing di antara peternak justru semakin menekan harga jual telur Blitar. Peternak enggan untuk menimbun telur berlama-lama karena penyusutan bobot telur pasti terjadi, jadi lebih baik cepat melepas ke pasar sekalipun dengan harga murah. Kompetisi yang terjadi  berkorelasi positif dengan populasi ayam petelur di Blitar yang memang luar biasa. Ya, yang terlihat jelas dalam permasalahan ini adalah tidak terorganisirnya para peternak dalam menentukan harga jual. Peternak seharusnya menyadari posisi Blitar sebagai salah satu pemasok telur terbesar nasional. Jadi, para peternak sebaiknya tidak terlalu khawatir dengan fluktuasi harga yang terlalu ekstrim.
Selain faktor tersebut,  beberapa pengamat mengklaim bahwa ada kemungkinan  para breeder (produsen telur tetas/anak ayam) mulai ikut terjun memasuki pasar telur. Semenjak harga jagung tidak karu-karuan, banyak peternak kecil yang memutuskan ‘beristirahat’ sejenak. Keadaan ini tentu saja mengurangi jumlah peternak untuk nguthuk (memelihara DOC), sehingga permintaan DOC menurun drastis sekalipun harga yang ditawarkan bisa dikatakan sangat murah. Kondisi ini memicu para breeder untuk lebih memilih melepas telur ke pasaran dalam skala besar.  Ini tentu saja tidak adil bagi para peternak kecil, karena mereka didukung oleh modal yang besar dan teknologi yang canggih. Ironisnya, belum sempat para peternak menikmati stabilnya harga telur, mereka kemudian dihantam oleh melonjaknya nilai rupiah jagung.
            Kondisi yang demikian dipastikan akan mempengaruhi perekonomian di Blitar yang dijuluki sebagai “Kabupaten 1001 telur”, mengingat jumlah populasi ayam petelur di Blitar mencapai 9,422,225 ekor (Disnak Provinsi Jatim,2011). Data dari Dinas Peternakan Kota Blitar tahun 2002 juga menyebutkan, produksi telur yang dihasilkan mencapai 350 ton setiap hari dari peternak yang tersebar di 22 kecamatan.  Tiga kecamatan pemasok telur terbanyak antara lain Kanigoro, Srengat dan Kademangan. Ditambahkan pula oleh sekretaris Himpunan Perunggasan Blitar (HPB), drh. Widodo Subyakto, populasi ayam di kabupaten Blitar diperkirakan mencapai 12 juta ekor dari sekitar 3,000 peternak. Sebesar 70% merupakan peternak skala kecil dengan populasi kurang dari 20,000 ekor; lalu sekitar 20% merupakan peternak skala menengah dengan populasi 20,000 – 100,000 ekor dan sisanya merupakan peternak besar dengan populasi diatas 100,000 ekor (www.poultryindonesia.com). Dari data tersebut, maka perputaran rupiah dari ayam petelur diperkirakan mencapai 700 miliar per tahun! Jumlah itu mencapai 60% lebih dari nilai APBD Kabupaten Blitar tahun 2011. Kontribusi yang jelas terlihat adalah, pergerakan sektor ini mampu menyerap sekitar 10,000 tenaga kerja. Apabila kita umpamakan  estimasi terendah  upah bersih mereka sebesar Rp. 350,000 /orang/bulan, maka dari roda usaha ini dapat menggelontorkan biaya 3,5 miliar setiap bulannya untuk tenaga kerja saja.
Sekarang  kita bayangkan apabila sektor ini lumpuh karena melonjaknya harga jagung yang permanen. Bisa diperkirakan para peternak skala kecil lebih memilih untuk mengosongkan kandangnya dan mencari alternatif usaha lain, yang bisa diprediksi akan meningkatkan angka pengangguran. Padahal populasi peternak kecil yang mencapai 70% tersebut, justru memiliki kontribusi besar pada produksi telur Blitar. Dari peran mereka pula Blitar berperan sebagai pemasok 30% kebutuhan telur nasional. Bila tidak ada instansi atau pihak terkait yang memberikan solusi ataupun kebijakan dengan segera, maka dapat saja terjadi klimaks, dimana komoditi telur menjadi langka karena penurunan populasi yang signifikan. Jadi, sangat jelas dampak yang siap mengancam perekonomian masyarakat maupun distribusi telur nasional akibat sang jagung!
* Penulis merupakan praktisi hewan ternak dari instansi swasta yang beroperasional di Blitar
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS
Read Comments

0 Response to "Peternak Ayam Petelur Tercekik!"


KLINIK KANG JANA

KLINIK KANG JANA